Sabtu, 20 Maret 2010

Meninggalkan Madzhab adalah bid’ah yang sesat



Gerakan anti madzhab Nampak berhasil dalam menanamkan kebanggaan pada kelompok modern. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan masalah kebangkitan umat islam. Karena berfikir secara bebas, adalah symbol dari kemajuan berfikir, sedangkan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip tradisional adalah ciri dan watak kemunduran.
Tetapi bila dikaji secara mendalam kemudian dihubung-hubungkan dengan perkembangan syari’at islam sejak awal mula hingga kini, ternyata gerakan anti madzhab belum melahirkan budaya baru dalam masalah pembinaan hukum islam. Dan masih berputar-putar dalam arena yang sudah dipagari tembok madzhab yang kokoh dan kuat, dan belum mampu menciptakan arena baru yang lepas sama sekali dari kehendak madzhab.
Barang siapa mempelajari Fiqih islam atau hukum islam yang ditulis oleh kelompok anti madzhab kemudian menekuninya dengan sadar dan insaf maka akan Nampak tiada satu pun masalah Fiqih yang lepas dari tilikan madzhab empat. Baik yang menyangkut masalah ibadah, muamalah, munakahat, jinayah dan lain-lainnya. Kalau masalah itu tidak sesuai dengan madzhab syafi’I, maka ia akan sesuai dengan madzhab Hanafi, dan kalau tidak sesuai dengan madzhab hanafi dan Syafi’I, maka akan sesuai dengan madzhab Maliki, atau Hambali, demikian akan terus berputar dikalangan madzhab empat. Dan bilamana tidak sesuai dengan madzhab yang empat maka ada indikasi yang kuat kalau fiqih itu lepas dari rumpun fiqih Ahli Sunnah Waljama’ah dan boleh jadi masuk kelompok fiqihnya kaum syi’ah atau mu’tazilah atau kaum ekstrim dhohiriyah. Seperti ibnu hazm dan ibnu Thaimiyah yang fatwanya ganjil-ganjil dan aneh-aneh.
Sepanjang pengamatan penulis fiqih islam yang ditulis oleh kelompok ulama anti madzhab khususnya di Indonesia hampir seratus persen diserap dari kitab-kitab madzhab yang ada dengan variasi komentar yang bermacam-macam sedangkan materi yang dibahas berkisar pada masalah hukum islam yang telah dibahas secara tuntas oleh ulama-ulama madzhab ratusan tahun yang lalu. Sejauh usaha yang telah mereka capai ialah melakukan perbadingan disana-sini, kemudian dipilih mana yang paling cocok menurut penilaian si pembahas. Inilah yang disebut ilmu baru dalam dunia Hukum islam sekarang dan popular dengan sebutan ilmu “Maqaranatul madzhab” atau ilmu perbandingan madzhab.
Kalau kita perhatikan dengan seksama usaha ini sebenarnya adalah merupakan pengembangan dari apa yang dirintis oleh ulama madzhab dahulu kala, meskipun selalu disebut-sebut bahwa sponsor ilmu ini adalah Syekh Al-maraghi dan Makhmud Syaltout.
Barang siapa menela’ah kitab Al Ma-Majmu Syarah Muhazzab (12 jilid besar) karangan imam Nawawi yang bermadzhab Syafi’I maka dia pasti merasakan bahwa kitab Muqaranatul Madzhahib fil Fiqhi karangan Prof Mahmut Syaltout dan Prof Ali Syais adalah merupakan sebagian kecil saja dari apa yang dikandung oleh kitab Al-Majmu.
Bermadzhab dengan arti melaksanakan dan mengamalkan hasil ijtihad para imam-imam Mujtahid seperti Maliki, Syafi’I dan lain-lainnya hukumnya wajib bagi setiap orang islam yang belum mampu melakukan ijtihad. Sebab madzhab yang mereka bina itu adalah merupakan hasil ijtihad yang mereka miliki sepenuhnya. Padahal sudah dijelaskan bahwa yang disebut ijtihad ialah semata-mata menggali isi Al-Qur’an dan hadits untuk mendapatkan sesuatu hukum konkrit dan positif. Jadi berijtihad berarti langsung menggunakan pedoman Al-Qur’an dan Hadits, dan hasil ijtihad yang disebut orang madzhab itu berarti pula seratus persen berdasarkan AL-Qur’an dan Hadits.

Dikutip dari buku perbandingan Mazdhab
Karya Drs M Hamdani Yusuf

1 komentar: