Sabtu, 13 Maret 2010

Dari dasar Islam ke Pancasila


Oleh KH Shalahudin Wahid.
Pengasuh pondok pesantren tebu ireng.



Pada Muktamar NU pertengahan 1930-an di Banjarmasin, NU tidak mempersyaratkan negara Islam. Negara Hindia Belanda adalah suatu negara yang dapat memberi kesempatan warga NU menjalankan ketentuan syariat Islam. Fakta historis inilah yang sering dikemukakan sebagai argumen bahwa NU tidak menghendaki negara Islam.
Pada awal kemerdekaan semua ormas Islam bergabung dengan Partai Masyumi. Mereka memperjuangkan negara berdasar Islam. Tidak satu pun tokoh pergerakan memperjuangkan khilafah Islamiyah atau negara Indonesia yang menjadi bagian dari suatu organisasi negara internasional.
Perjuangan khilafah Islamiyah baru terdengar gaungnya di Indonesia pasca-Orde Baru. Didirikannya Nahdlatul Waton (di Jl Kawatan Gg IV Surabaya) yang dipelopori oleh Wahab Hasbulah dan Mas Mansyur, dengan visi membangun nasionalisme melalui pendidikan dengan dukungan HOS Cokroaminoto, Raden Panji Suroso, dan Sunjoto, menunjukkan kuatnya sikap kebangsaan sejumlah tokoh ormas Islam itu.
Ahmad Baso dalam tulisannya juga menunjukkan kuatnya sikap kebangsaan itu sebagai akibat dari pengaruh Syekh Zaini Dahlan, seorang ulama terkenal di Makkah, terhadap para muridnya antara lain KH Hasyim Asy’ari dan para pendiri NU lainnya. Menurut saya, wajar kalau NU dan ormas Islam lain di dalam Masyumi memperjuangkan negara Islam pada awal kemerdekaan RI. Kalau tidak, malah tidak wajar.
Kita memperoleh kemerdekaan dan mendapat kesempatan membahas negara semacam apa yang akan kita dirikan. Mestinya tokoh utama NU saat itu banyak bergelut melalui pemikiran dengan kitab-kitab yang membawa para tokoh itu menuju cita-cita negara Islam. Pada saat itu negara Islam tidak berkonotasi negatif, kalau tidak mau disebut berkonotasi positif.
Partai NU bersama partai Islam lainnya memperjuangkan lagi dasar negara Islam dalam konstituante yang juga gagal. NU memperjuangkan posisi Piagam Jakarta saat Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945.
Piagam Jakarta dijadikan pertimbangan oleh BK bagi berlakunya kembali UUD 1945. Sebagian (kecil) warga NU, yaitu yang aktif di PPP, sampai 2001 masih memperjuangkan negara bernuansa Piagam Jakarta. Tetapi, sebagian besar, yang di PKB dan Partai Golkar, memperjuangkan negara Pancasila yang Islami.
Bagi NU, kiblat perjuangan kemerdekaan adalah Hadratus Syech KH Hasyim Asy’ari. Panglima TNI Sudirman secara teratur menjaga kontak dengan beliau.
Salah satu wujud dari kepemimpinan beliau yang diakui secara luas adalah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang berdampak pada perjuangan rakyat Surabaya 10 November 1945. Saham kalangan NU di bawah kepemimpinan Hadratus Syech dalam mendirikan NKRI amat besar.
KHA Wahid Hasyim sebagai wakil NU di dalam BPUPKI berandil menyetujui Pancasila sebagai dasar negara. Sejak dulu sampai sekarang, NU tidak pernah menyetujui khilafah Islamiyah.
NU memerlukan waktu hampir 40 tahun untuk menyadari bahwa Pancasila dan Islam bukanlah sesuatu yang bertentangan, tetapi berkesesuaian. Pada 1945 NU yang tergabung dalam Partai Masyumi memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, tetapi gagal. Piagam Jakarta yang merupakan kompromi (22 Juni 1945) akhirnya juga terpaksa dibatalkan (18 Agustus 1945).

Sumber : http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=323017&kat_id=16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar