Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang-orang atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara’. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara’ dan mengamalkannya.
Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara’ maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal-soal ibadah) maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
Syarat-syarat yang ditaqlidi
Syarat-syarat yang ditaqlidi
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara’. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal. Karena itu, tidak ada gunanya bertaqlid kepada orang lain.
Sedangkan dalam hukum syara’ ada dua hal :
Ada yang diketahui dengan pasti (Qat’i) dari agama, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa Ramadhan, haji, Zakat, juga tentang haramnya zina, minum-minuman keras. Dalam soal-soal tersebut tidak boleh bertaqlid karena semua orang dapat mengetahuinya.
Ada yang diketahui dengan penyelidikan dengan mempergunakan dalil seperti soal-soal ibadah yang kecil-kecil. Dalam Hal ini dibolehkan bertaqlid kepada orang lain, berdasarkan firman Allah :
Ada yang diketahui dengan pasti (Qat’i) dari agama, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa Ramadhan, haji, Zakat, juga tentang haramnya zina, minum-minuman keras. Dalam soal-soal tersebut tidak boleh bertaqlid karena semua orang dapat mengetahuinya.
Ada yang diketahui dengan penyelidikan dengan mempergunakan dalil seperti soal-soal ibadah yang kecil-kecil. Dalam Hal ini dibolehkan bertaqlid kepada orang lain, berdasarkan firman Allah :
“Tanyakanlah kepada ahli dzikir (orang-orang pandai) apabila kamu tidak mengetahuinya” (QS An-Nahl:43)
Sumber :Ushul Fiqih II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar