Minggu, 09 Mei 2010

Hukum Korupsi dan Suap





Kata “korupsi” berasal dari bahasa belanda, artinya “curang atau tidak jujur, menyalahgunakan  wewenang untuk memperkaya diri sendiri dan merugikan orang lain atau perusahan tempat orang itu bekerja “ kamus populer, karupsi dalam bahasa arab adalah “orang tang curang terhadap perkara yang diamanatkan kepadanya”.
Hukumnya haram dan perbuatannya tidak sah.
Firman Allah Swt.
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil.....” (Qs An-Nisa :29)
Maksud ayat di atas menurut tafsir Ruhul Bayan, juz II hlm 194 ialah
“janganlah kalian mengambil harta di antara kalian dengan cara tidak sah atau di luar hukum syara, seperti menggasab atau mencuri, berkhianat (curang), berjudi, akad(transaksi riba),menyuap,sumpah palsu, kesaksian palsu,akad-akad yang rusak atau tidak sah lainnya”.
Demikian juga yang diterangkan dalam tafsir Al-jamal,juz I,hal 151 dan Al-Munir juz I hal 49.
Arti “suap” atau “menyuap” atau “risywah” ialah
“ memberikan sesuatu kepada orang lain untuk membatalkan perkara yang benar atau membenarkan perkara yang salah”.
Hukumnya haram, baik menerima maupun memberinya sebagaimana sabda nabi muhammad Saw.:
“Allah mengutuk orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam masalah hukum”(Hr Ahmad dan lainnya)
Yang dimaksud hukum adalah segala hukum yang yang berlaku, termasuk hukum administrasi dan suapan itu adalah akhlak yahudi
“Dan disebabkan mereka (kaum yahudi) memakan riba,padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya dan karena mereka memakan harta dengan jalan bathil...”(QS An-Nisa:161);
Adapun memberikan harta dengan maksud agar orang yang diberinya itu berbuat jujur, hal itu tidak termasuk perbuatan haram sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Al Bajuri juz II halaman 333 sebagaimana berikut :
“kalau orang memberikan sesuatu kepada hakim atau pejabat pemerintahan agar mereka menetapkan sesuatu dengan haknya, tidak termasuk suapan yang diharamkan, hukumnya boleh bagi si pemberi, hanya tidak boleh menerimanya,sebab bagi hakim atau pejabat tidak boleh menerima sesuatu atas penetapan hukum.”

 Persoalan Umat dalam pandangan Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar